Oleh: apit | September 17, 2006

Ketidaksadaran akan Sebuah Kemurnian Bahasa Indonesia

Sekitar 72 tahun yang lalu, tepatnya tanggal 28 di bulan Oktober 1928, pemuda-pemudi Negara ini menyatakan sumpahnya yang terkenal. Sumpah Pemuda, itulah awal dari sebuah kebangkitan semangat perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia di masa lampau dari belenggu para penjajah.

Salah satu butir dari ketiga butir yang ada pada sumpah itu mengenai bahasa Indonesia. Suatu bahasa yang semenjak itu pula hingga sekarang menjadi alat pemersatu Bangsa kita ini, Tanah Air Indonesia. Selain itu, bahasa inilah yang juga menjadi salah satu lambang identitas penting Negara ini di masa-masa kemerdekaan di tahun 1908 -1945. Di mana di masa-masa itu banyak sekali bahasa asing yang masuk dan hidup “berdampingan“ dengan bahasa Indonesia. Dan tidak bisa dipungkiri bahwa dari bahasa-bahasa itulah banyak sekali yang dijadikan unsur serapan ke dalam bahasa Indonesia yang sekarang ini. Belum lagi bahasa Sansekerta, bahasa kuno yang hampir mendominasi semua unsur yang ada dalam bahasa Indonesia. Meskipun demikian, bahasa Indonesia tetaplah bahasa yang satu, seperti yang termaktub dalam Sumpah Pemuda di tahun 1928 silam.

Perjalanan panjang bahasa Indonesia pun tidak hanya sampai di sana. Dengan banyaknya bahasa yang digunakan oleh penduduk pribumi Indonesia maupun para pendatang di era pasca-kemerdekaan, tentunya sangat suli sekali bagi Pemerintah dalam penentuan kaidah-kaidah bahasa tulis maupun bahasa lisan yang baik dan benar yang dapat mempersatukan bangsa ini. Terlihat dari potret-potret sejarah, masih banyak tulisan publik yang berciri khas tulisan Belanda, Inggris, maupun Jepang. Seperti dalam peristiwa demonstrasi-demonstrasi massal yang dilakukan oleh penduduk Indonesia. Bahasa lisan pun masih terdapat perbedaan-perbedaan yang mencolok dari setiap orang yang menggunakannya pada saat itu. Itulah ketidakteraturan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar di masa setelah Indonesia merdeka.

Indonesia sempat menggunakan ejaan Suwandi sebagai kaidah-kaidah dasar penulisan yang berlaku. Meskipun pada akhirnya, EYD (Ejaan Yang Disempurnakan) dijadikan sebagai aturan baru dalam penulisan bahasa Indonesia yang baik dan benar sejak tahun 1972. Hingga sekarang EYD masih digunakan di Negara ini.

Sebagai bahasa Nasional yang hanya ada satu negara saja yang memakainya, yaitu Indonesia, tentunya bahasa Indonesia memiliki kamus besar yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam pemakaian bahasa yang baik dan benar. Kamus itu ialah Kamus Besar Bahasa Indonesia. Semua kata-kata maupun istilah di dalamnya merupakan pedoman yang syah dalam penggunaan bahasa Indonesia.

Namun, bahasa Indonesia dalam perkembangannya dewasa ini sangatlah memprihatinkan. Bahasa Indonesia dikenal orang, hanyalah sebagai sebuah bahasa Nasional atau bahasa pertama yang ada di Negara ini, tanpa harus menggunakannya dengan benar. Masyarakat, entah karena ketidaktahuan ataupun dengan seenaknya saja, menggunakan bahasa Indonesia tanpa memperhatiakan lagi aturan-aturan dalam pemakaian bahasa yang sesuai. Contoh kecilnya saja dalam berbicara. Banyak orang berbicara di sekitar kita tanpa menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Seperti pemakaian kata senen. “Senen lebih enak didengar ketimbang kita mengatakan kata senin”. Begitulah kebanyakan orang beralasan mengapa lebih suka menggunakan bahasa Indonesia yang jelas-jelas salah dalam pemakaiannya.

Penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar memang sudah bukan dijadikan hal yang penting lagi bagi masyarakat dalam berbicara. Kita harus menyadari, dari kecil pun, di dalam lingkungan keluarga kita sudah sering menggunakan bahasa Indonesia yang belum tentu kata-kata yang kita pakai itu benar-benar merupakan kata-kata yang sesuai aturan ataupun baku.

Apalagi dalam pergaulan sehari-hari, mungkin saja bahasa Indonesia yang kita pakai selama ini sama sekali tidak mencerminkan ciri khas bahasa Indonesia yang sebenarnya. Banyak sekali kita berbicara tanpa menggunakan kata-kata yang berasal dari Kamus Besar Bahasa Indonesia. Sehingga seringkali masyarakat salah mengartikan penggunaan bahasanya dalam kehidupan sehari-hari.

Jutaan orang yang menghuni Bumi Pertiwi ini tentunya berasal dari berbagai macam suku daerahnya masing-masing, sesuai dengan kemajemukan Bangsa ini. Tentunya tidak jarang mereka pun juga membawa sedikit unsur-unsur atau ciri khas masing-masing bahasa daerahnya ke dalam bahasa Indonesia yang kita kenal. Orang yang tinggal di daerah Jakarta dan sekitarnya misalnya, mereka terkadang berbicara menggunakan bahasa Indonesia dengan logat bahasa Betawi. Bae, kita lebih sering mendengar orang mengatakannya ketimbang kata baik. Ini merupakan contoh kecil saja dari sekian banyak kata-kata lain yang menjadi peralihan dari bahasa Indonesia yang sesungguhnya.

Contoh lain, ketika penulis pergi ke suatu daerah di Jawa Barat, penulis berbincang-bincang dengan seorang pelajar di sana. Di akhir perbincangan, penulis bertanya kepadanya tentang asal daerahnya. Dengan lugu ia menjawab, ”Saya teh dari Jawa Barat asli”. Dan sebelum pelajar itu bertanya kembali tentang asal daerah penulis, ia pun sudah bisa menjawab dengan sendirinya bahwa penulis pasti berasal dari suku Betawi. Dengan sedikit tertawa kecil dan perasaan heran penulis berkata, “Lo, kok Kamu bisa bilang begitu?”. Singkat cerita, ternyata si Pelajar itu mengira bahwa penulis berasal dari suku Betawi karena dalam percakapan sebelumnya, kata dia, penulis berbicara seperti orang Betawi. Dengan dia berkata seperti itu, penulis pun sadar bahwa selama ini penulis berbicara layaknya seperti orang Betawi berbicara. Padahal penulis sendiri bukan berasal dari daerah Jakarta ataupun Betawi, melainkan hanya tinggal di daerah Jawa Barat yang memang berbatasan langsung dengan DKI Jakarta.

Cerita di atas tentunya dapat kita pahami bahwa belum tentu selama ini kita menggunakan bahasa Indonesia yang benar-benar murni. Kita tidak pernah sadar, bahwa selama ini kita menggunakan berbagai macam bentuk dan logat kedaerahan dalam bahasa lisan kita sehari-harinya.
Belum lagi bahasa asing yang masuk. Di era globalisasi ini tentunya memiliki kemampuan berbahasa asing amatlah sangat dibutuhkan. Namun kita tidak boleh menggunakannya secara sembarangan, bukan pada tempatnya. Tanpa kita sadari sering sekali kita menggunakan kata-kata bahasa asing, khususnya bahasa Inggris, ke dalam penggunaan bahasa Indonesia dalam pergaulan sehari-hari dengan cara diselipkan. Misalnya kata sorry, kata ini lebih banyak dan hampir sebagian besar orang menggunakannya dalam berbicara, apalagi anak muda. Dengan cara diselipkan, kata ini terasa lebih nikmat didengar telingga ketimbang kata maaf yang mungkin terasa aneh jika diucapkan seseorang jika memiliki salah. Pengecualian jika kita meminta maaf pada saat hari raya Idul Fitri umat Islam, tentunya lebih nyaman jika menggunakan kata maaf lahir dan batin. Itu jelas lebih “Indonesia”.

Masih banyak lagi, di lingkungan sekolah, kantor, dan bahkan di lingkungan pemerintahan kita sering menggunakan bahasa lisan yang jelas-jelas bukan pada aturannya. Suatu fenomena umum yang sudah menjadi pola kebiasaan bagi masyarakat Indonesia. Padahal kita tahu, ada yang namanya Kamus Besar, Bahasa baku, ataupun aturan-aturan lainnya dalam penggunaan bahasa Indonesia yang sebenarnya.

Bahasa tulis pun juga demikian. EYD, yang selama ini kita punya, hanyalah sebuah aturan yang begitu saja ditinggalkan oleh masyarakat kita. Tidak banyak yang tahu apa-apa saja aturan yang ada pada EYD. Paling-paling hanya kalangan akademis saja yang paham akan keseluruhan isi dari EYD. Itu pun juga yang memang biasa belajar bahasa Indonesia. Namun yang lainnya hanyalah terpaku saja dari apa-apa yang mereka sedikit tahu tentang bahasa Indonesia.
Dalam kehidupan sehari-hari pun kita sering melihat kesalahan-kesalahan dalam penggunaan bahasa baku yang ada di masyarakat. Kesalahan yang paling sering ialah penulisan kata apotik, yang sering terlihat oleh mata kita di sepanjang jalan dan yang terdapat di rumah sakit. Banyak yang tak menyadari bahwa kata yang benar ialah apotek. Sekali lagi, inilah merupakan pola kebiasaan yang salah yang sudah ada sejak lama dalam masyarakat kita, tanpa ada yang mau peduli untuk benar-benar merubahnya, sekali pun pemerintah yang dalam hal ini merupakan urusan Pusat Bahasa.

Lebih mengkhawatirkan lagi jikalau bahasa-bahasa asing yang ada sudah bercampur baur tidak menentu dengan bahasa Indonesia yang ada. Hal ini berakibat buruk sekali bagi keutuhan bahasa Indonesia itu sendiri dan tentunya dapat menghapus kemurnian sebuah bahasa Indonesia.
Hal seperti ini pernah terjadi ketika pemerintah menginstruksikan agar pemakaian nama-nama asing yang digabung dengan bahasa Indonesia pada sebagian Mal, pasar swalayan, dan hotel-hotel untuk segera dirubah. Setelah itu, sebagian besar nama-nama itu memang dirubah. Namun, sekarang sepertinya aturan yang pernah diberlakukan itu hilang begitu saja ditelan masa. Justru sekarang lebih parah. Pusat-pusat perbelanjaan mewah, hotel-hotel-hotel berbintang, dan gedung-gedung lainnya mulai menggunakan nama dengan istilah asingnya yang semakin menjamur. Sehingga tatkala kita berkunjung ke jalanan di kota besar seperti Jakarta, jangan heran kalau kita merasa bagaikan berada di negeri orang dengan pemandangan gedung-gedung pencakar langit yang diberi nama dengan istilah-istilah bahasa asing.

Mungkin sebagian para pemilik gedung-gedung tersebut berpendapat bahwa dengan pemakain nama bahasa asing tentunya akan lebih memiliki kebanggan dan menarik minat masyarakat sesuai dengan tuntutan di era globalisasi. Namun, apakah dengan menggunakan nama bahasa Indonesia juga tudak membanggakan?. Yang pasti tidak akan rugi bagi para pemilik gedung yang mau memberi nama gedungnya dengan pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar, seperti pemakain kata menara akan lebih baik ketimbang menggunakan istilah tower untuk gedung yang tinggi. Mereka juga akan lebih merasa menghargai keutuhan bahasa Nasionalnya.

Masalah lain yang tak kalah penting yang menyangkut keutuhan kemurnian bahasa Indonesia adalah mulai banyaknya penciptaan-penciptaan bahasa “gaul” yang dari dulu selalu saja ada istilah-istilah yang bermunculan. Bahkan Kamus Gaul pun pernah ada yang membuatnya. Dan itu memang sangat digemari.
Bahasa “gaul” inilah yang kerap kali diminati oleh para kaula muda. Penyebarannya pun sangat cepat sekali. Maka tak jarang jika para remaja di suatu wilayah atau kota sudah mengenal bahasa-bahasa “aneh” yang bermunculan. Mereka sering menggunakannya di sekolah-sekolah, kampus, dan tempat-tempat lainnya bersama dengan teman-temannya.

Sebenarnya sungguh ironis jikalau para remaja itu, yang juga belajar pelajaran Bahasa Indonesia di sekolahnya, tidak menjunjung tinggi bahasa Indonesia yang diajarkan. Mereka seringkali tidak mengindahkan nasehat para guru Bahasa Indonesia yang sering memberikan arahan untuk selalu menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, baik dalam berbicara maupun dalam hal menulis.

Semua hal yang diungkap di atas merupakan berbagai macam fenomena kerapuhan dari sebuah kemurnian penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Semuanya hampir tidak pernah kita sadari, bahasa daerah, bahasa asing, bahasa “gaul”, penyimpangan kata, dan lain-lainnya, itulah yang sebenarnya selama ini membuat kita menggunakan bahasa Indonesia dengan tidak murninya. Hal ini berakar dari pola-pola kebiasaan awal yang salah dalam masyarakat yang setiap saat bergerak dengan cepatnya, bisa melalui media, lingkungan tempat tinggal, dan tempat-tempat di mana kita bisa menghabiskan waktu di sana. Pola-pola ini bisa merupakan suatu pengaruh berbahasa yang bisa datang dari mana saja.

Bahasa asing dan bahasa daerah yang masuk “berdampingan” dengan bahasa Indonesia harus dijadikan kekuatan. Kita pun harus menghargai yang namanya suatu kemajemukan berbahasa. Namun, kita harus bisa menjaga keutuhan bahasa Indonesia dengan cara memposisikan masing-masing bahasa sesuai keperluan dengan tepat.

Kita harus bisa melihat situasi, kondisi, dan tempat dalam pemakaian bahasa-bahasa tersebut. Jangan sampai bahasa Indonesia yang kita gunakan bercampur baur begitu saja dengan bahasa atau istilah lain yang dapat menyimpang dari aturan dan kaidah-kaidah yang sudah ditetapkan.

Begitu juga dalam penggunaan bahasa sehari-hari. Yang harus kita perhatikan adalah penempatan posisi kita dalam berbicara menggunakan kata-kata popular dan ilmiah. Dalam lingkup resmi, bahasa ilmiah-lah yang digunakan. Bahasa popular kita gunakan dalam pergaulan sehari-hari di lingkup yang kecil. Tapi, kita harus tetap mengingat untuk tidak menyalahi aturan yang sudah ditetapkan.
Khusus untuk bahasa-bahasa “gaul” atau istilah-istilah “aneh” lainnya, memang ini yang paling sulit karena berhubungan langsung dengan anak muda. Padahal anak muda-lah yang nantinya sebagai penerus bangsa ini. Untuk itu kita tidak harus tinggal diam begitu saja. Karena kalau terus-terusan seperti ini, kemurnian bahasa Indonesia akan semakin semrawut, hingga pada akhirnya sudah tidak ada lagi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.

Hal ini merupakan pekerjaan keras bagi para pendidik untuk kaum muda. Di sekolah misalnya, guru Bahasa Indonesia harus bisa memberikan contoh yang baik dalam penggunaan bahasa. EYD, bahasa baku, serta aturan-aturan lainnya dalm pengguanaan bahasa yang baik dan benar dalam pergaulan sehari-hari harus sering dimasukkan ke dalam agenda pengajaran yang utama. Dengan begini, nantinya seorang guru bisa memberikan pengaruh yang besar bagi para pengguna bahasa Indonesia. Sehingga diharapkan pola-pola kebiasaan yang salah selama ini dapat dibenarkan.

Dengan melalui pendidikan formal seperti ini sedari kecil, diharapkan akan terbentuk bibit-bibit manusia yang mengerti apa itu bahasa Indonesia yang sebenarnya. Bukan itu saja, pendidikan informal atau dari luar sekolah pun juga bisa dilakukan. Negara ini memiliki Pusat Bahasa yang langsung dibawahi Departemen Pendidikan Nasional. Ini merupakan modal yang teramat baik. Pusat Bahasa tentunya harus mampu memberikan kontribusi yang berarti dalam hal penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Banyak yang bisa dilakukan oleh Pusat Bahasa. Seperti melakukan pelatihan kepada guru-guru Bahasa Indonesia dari segala jenjang pendidikan, mengadakan seminar- seminar kepada remaja atau masyarakat lainnya, mengadakan lomba-lomaba umum yang berhubungan dengan bahasa, mengadakan pelatihan serta lomba bahasa kepada wartawan atau media, dan kegiatan-kegiatan lainnya dalam rangka peningkatan kualitas berbahasa Indonesia yang baik dan benar.

Selain itu, Pemerintah juga harus bisa memberi contoh yang baik dalam pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar. Karena dilema pemakaian bahasa Indonesia dalam pergaulan sehari-hari di masyarakat juga merupakan tanggung jawab Pemerintah dan tentunya kita semua.

Pemerintah juga harus bisa menempatkan posisi bahasa dalam kaidah yang tepat. Baik itu Presiden, Wapres, dan para Menteri-Menterinya di lingkungan departemen, harus mulai menggunakan bahasa Indonesia yang sesuai, tidak dengan penambahan-penambahan istilah asing dalam berbicara Indonesia karena itu bisa merusak kemurnian bahasa Indonesia.

Salah satu aspek yang penting lagi adalah media. Media merupakan pengaruh yang besar dalam berbahasa, karena memang kita berhubungan langsung dengannya, baik secara audio maupun visual. Untuk itu kita harus lebih pandai-pandai menghindari pengaruh buruk yang dapat menjadi pola kebiasaan kita dalam berbahasa. Karena hanya dari media-lah berbagai macam jenis karakter bahasa bisa datang dengan begitu saja.

Untuk itu diharapkan kepada media agar dapat juga berperan dalam peningkatan kualitas penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan aturan karena media pun juga menggunakan bahasa, yang merupakan aspek penting dari sebuah media.

Tanpa bermaksud hendak menyalahi aturan tentang kebebasan pers, tentunya pemerintah pun harus lebih bisa mengawasi pemakaian bahasa di dalam suatu media, khususnya media cetak. Bahkan akan lebih baik jika pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai batas-batas penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam suatu media. Ini demi kelangsungan keutuhan bahasa Indonesia.

Di akhir tulisan ini penulis hanya berharap bahwa bahasa Indonesia yang sudah kita kenal sejak tahun 1928 sampai sekarang akan tetap ada selamanya. Akan tetap utuh dengan kemurniannya tanpa ada kerapuhan-kerapuhan di dalamnya. Akan tetap menjadi bahasa persatuan kita. Dan tetap menjadi satu-satunya bahasa Nasional yang ada di Negara tercinta ini.

Juga diharapkan kepada seluruh elemen masyarakat, agar kita selalu menjaga keutuhan bahasa Nasional kita, bahasa Indonesia, selayaknya kita menjaga keutuhan Negara ini. Dan tidak ada lagi kebutaan tentang bahasa Indonesia, tidak ada lagi yang namanya ketidaksadaran akan sebuah kemurnian bahasa Indonesia, sehingga kita paham, kita tahu, dan mengerti apa itu bahasa Indonesia yang sesungguhnya. Dan bangsa yang besar bukan hanya bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya, melainkan juga bangsa yang menghargai bahasanya.

www.penulislepas.com


Tanggapan

  1. benar-benar opini yg matang.
    cukup membuat miris pembaca ttg kondisi bahasa indonesia saat ini.
    kebudayaan qta dalam mengkritisi suatu masalah saat ini cukup baik. namun langkah selanjutnya adalah bagaimana solusi pemecahannya. nah mungkin penulis bisa menambahkan, tindakan atau program konkrit apa yg bisa qta lakukan..
    terima kasih

  2. Bahasa Indonesia rusak karena saya memiliki tak ada. Berbeda sekali dengan orang Malaysia yang berusaha keras merawat bahasa melayu. Di Indonesia ancaman paling berat adalah bahasa melayu betawi yang bersimaharajalela di televisi.

  3. Dewasa ini keperihatinan dalam penggunaan Bahasa Indonesia semakin besar. Jadi masih perlukah bahasa indonesia bagi bangsa indonesia?


Tinggalkan komentar

Kategori